Kamis, 10 Mei 2012

Akan ada kesuksesan meski terhalang karang...

Senin, 15 November 2010

The Dream

"Mampukah asa terbang tinggi ketika mereka terus saja meracuni?"

Sabtu, 12 Juni 2010

HAMPA

Seperti angin bertiup sering
Seperti rintik hujan banyak
Ada bayang turut
Tidak sendiri…

Tapi sepi yang ku kalungkan sendiri
Juga tak mau berpaling
Jiwa ini tetap hampa

( Depok, 23 Desember 2007)


SAAT KEMBALI TERLUKA


Sayap-sayap yang patah
Ke mana kau kan melangkah
Membawa sejuta luka yang parah
Sedang kau tak tahu arah

Senyum ceria yang tlah hilang
Kenapa sekejap kau datang
Kenapa seolah hanya dipajang
Kenapa tak abadi di hati yang gersang

Janji manis yang terucapkan
Ke mana kan kau pertanggung jawabkan
Kapankah kan kau wujudkan
Sedang kau bermain dengan perasaan

Sayang yang tertanam di hatiku
Hanya akan menjadi beku
Karna sayap patahku tlah tak mampu membawaku
Kepada seseorang yang tulus mencintaiku...

(Depok, 20 Januari 2008)
LELAH

Jam berdetak
Di kesunyian yang hilang
Hampa sendiri
Menanti lelap atau pagi
Tanpa terpejam ini mata

Bulan yang separuh
Angin tak gemuruh
Orang tak berpeluh
Pasar juga belum riuh

Entah apa lagi
Seperti mati, hampa sendiri
Tak bisa kubujuk mata ini
Tuk bermimpi
Usir lelah yang berpikir
Lelah yang menanti
Menangis…

Tak bisa kubujuk mata ini
Aku semakin lelah
Di kesunyian yang hilang
Menanti apa lagi?

(Depok, 23 Desember 2007)

Kamis, 18 Februari 2010

Kenapa Kita Menulis?

“Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.” (John Gardner dalam On Becoming A Novelist)
Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah software dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)? Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna.
John Gardner dalam The Art of Fiction mengatakan,”Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang. Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu.”
Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah dari guratan tangannya Ayat-Ayat Cinta—novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar—maupun Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar adalah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP akhir Februari lalu dan langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan!
Menulislah, pesan Helvy Tiana Rosa—sastrawan angkatan 2000 versi Korie Layun Rampan dan peraih penghargaan Adikarya IKAPI—karena selain baik bagi kesehatan mental dan menghasilkan uang, menulis juga memungkinkan kita saling memperkaya ide, berbagi rasa dan pengalaman serta mengeksplorasi langit imajinasi tanpa batas.
Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Bukankah William Shakespeare juga mulai menulis karena keterpepetan ekonomi? Sah-sah saja tentunya. Namun sudah siapkah kita dengan segudang kesabaran dan kekuatan hati atas segala penolakan terhadap karya kita? Umumnya seiring ekspektasi berlebih—karena memang terkait dengan kebutuhan perut—penolakan pun kadang berlebih sesuai kadar ekspektasi tersebut.
Kawan-kawan penulis—yang banyak saya temui--yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa--seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra--menulis adalah memberi.
Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual—termasuk ‘menjual’ tulisan--adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand dalam bentuk repeat order (order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.
Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo—salah satu sastrawan favorit saya—dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat. Seorang Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika Ayat-Ayat Cinta—yang royaltinya untuk infaq pesantren--akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi’ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70an,”Nanem padi rumput ikut; nanem rumput padi luput.” Tujuan yang lebih dari “sekadar” materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.
Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, “Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya.” Ya, optimismelah—selain motivasi--yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa?



Beternak Ide
Oleh Nursalam AR

“Uang hanyalah sebuah ide.” (Robert T. Kiyosaki)

Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks industri kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri real estate yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku Rich Dad Poor Dad-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual. Lihat saja fenomena novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Shirazy atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.

Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan, didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda atau unta untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan jalan mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide. Gola Gong melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide Balada Si Roy dan Perjalanan di Asia. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam – hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide.

Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku, ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap. Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde alias penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi kunci besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba sesuatu yang baru.

Jadi sudah basi – dan tipikal adegan di film Indonesia era 70an – jika kita membayangkan seorang penulis mencari ide dengan hanya terbengong-bengong di depan alat tulis dan kertas atau memegangi kepala dengan rokok mengepul seperti asap kereta uap. Seperti kata Umar bin Khattab,”Rejeki tidak jatuh begitu saja dari langit. Bekerjalah!” Ide juga harus disodok jatuh seperti kita menyodok mangga ranum dari pohon yang rimbun.

Jika mangga sudah jatuh, jika hewan liar sudah ditangkap dan dijinakkan, apa yang harus kita lakukan? Dengan segala amsal tersebut, ide yang lebih mahal dari Buah Merah asal Papua dan lebih ajaib dari hewan Pegasus dalam mitologi Yunani adalah harta karun yang wajib didepositokan dan hewan ternak yang teramat mahal untuk tidak dipiara. Dan perlu jurus-jurus khusus untuk beternak ide.

Jurus Pertama: Kandangkan
Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes, agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki. Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,”Kereta yang ingkar janji”. Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu bekas akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama Harry Potter yang bertahun-tahun menghipnotis dunia?

Jadi jangan biarkan ide hanya berkelebat mampir di benak. Kurung ia karena ia lebih liar dan lebih mudah pergi bahkan lebih rentan dicuri daripada uang. Jika perlu, perlakukan ide sama berharganya dengan uang yang kita setorkan ke bank. Milikilah bank ide – dalam bentuk apapun -- yang isinya selalu dapat kita setor dan tarik setiap saat.

Jurus Kedua: Beri makan
Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir, tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan bergizi jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.

“Every man’s work, whether it be literature or music or pictures or architecture or anything else, is always a portrait of himself.”(Samuel Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup relevan jadi panduan. “Ordinary people talk about people; mediocre people talk about events and extraordinary people talk about ideas.” Orang-orang kelas bawah membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan membicarakan peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi luarbiasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan hal-hal kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.

Jurus Ketiga: Kembangbiakkan
Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura petarung karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang membentuknya. Dalam How To Be A Smart Writer, Afifah Afra – penulis top FLP dengan sederet novel best seller salah satunya novel sejarah Javasche Orange – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya istilahkan inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika dalam dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin sangat menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.

Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda. Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (Snow White). Cinderella yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.

Jurus Keempat: Jual
Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu menuliskannya, ide tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya sekedar mensupervisi atau menjadi head writer. Itu sekedar contoh. Namun kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih dan merawatnya.

Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah kita punya nyali untuk beternak ide?

Jakarta, 17 Maret 2008


Berbukalah Dengan Tiga Kata
Oleh Nursalam AR

Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut Abraham Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu. Jika Anda ingin sekali mencurahkan isi hati, mendamba sangat untuk menuangkan isi otak namun tangan kaku atau – dalam istilah Taufik Ismail – lumpuh menulis, hmm, barangkali secara tak sadar Anda sedang ”berpuasa”. Otak Anda sedang rehat, menunggu waktu berbuka. Jiwa Anda menggelegak namun tangan kelu beku di depan keyboard komputer atau pena terkulai loyo di atas kertas. Jadi, marilah berbuka!
”Kak, gimana caranya?” seseorang bertanya dengan wajah bingung.
Yang tidak bertanya atau malu bertanya lebih banyak menerawang ke langit atau menekuri bumi. Sebuah pemandangan umum yang aku temui dalam berbagai pelatihan menulis mulai dari anak-anak buruh pelabuhan Tanjung Priok, siswa SMA di sebuah kawasan elite, karyawan sebuah departemen pemerintah bahkan hingga anggota baru sebuah komunitas kepenulisan semacam Forum Lingkar Pena (FLP). Mereka lupa bahwa ide harus dikejar, bukan dinanti seperti pasifnya menanti kereta Jabotabek yang kerap telat. Mereka abai bahwa seorang Sean Connery – dalam cast-nya sebagai seorang penulis kawakan dalam film Finding Forrester – mendidik keras anak muridnya agar ”menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis”. Namun, jika konsep itu kelewat mewah, maka seperti berbuka puasa, awalilah dengan yang ringan. Jika berbuka disunnah dengan kurma, maka berbukalah dari puasa menulis dengan tiga kata.
”Caranya?” Mata-mata bingung itu menatapku tajam. Mungkin mereka kira aku bercanda.
Apapun bentuk tulisan Anda, persetankan apapun kata kritikus nantinya, dobrak kebekuan es dalam benak dengan menuliskan tiga kata. Apapun kata yang terlintas di benak Anda. Contoh: apa tiga kata yang terlintas di benak Anda saat membaca tulisan ini? Sebut saja: bingung, penasaran dan tak mengerti. Yup! Anda sukses mencicipi ”kurma”. Apakah Anda biarkan kurma itu sekadar menempel di bibir? Jangan puas dengan hanya merasakan teksturnya. Santap saja, Kawan!
Buatlah kalimat dari ketiga kata temuan tersebut. Tak peduli dari manapun kata itu Anda pungut (apakah dari kelebatan rok mini cewek kantoran di depan Anda, dari headline sebuah koran atau dari lintasan pikiran konyol), tuliskan saja. Misalnya, terciptalah: ”Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak mengerti untuk menuliskannya”. Itu satu contoh. Terus, dan teruslah menulis. Sengawur apapun. Hingga, singkat cerita, terciptalah sebuah paragraf pendek berikut: ”Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak mengerti untuk menuliskannya. Tapi aku harus tahu harus menulis apa. Karena aku penulis serba bisa. Biarpun judulnya ”Kecanggihan Teknologi IT” tapi aku tahu aku pasti bisa menuliskannya. Apapun itu...”
Nah, sudah kenyang?
Pasti belum. Kawan, tiga kata itu hanyalah ice-breaker. Bahkan seorang Ernest Hemmingway, seorang nobelis sastra asal Amerika Serikat pun mempraktekkannya. Ia terus mengetik apa saja. Bahkan hingga berlembar-lembar. Tapi ingat teaser ini hanyalah pembuka. Seperti kurma, tiga kata adalah penggugah selera belaka. Otak kita, secara alamiah seperti diungkapkan dalam berbagai buku psikologi dan motivasi termasuk The Secret karya Rhonda Byrne adalah mesin dahsyat yang berproses otomatis memacu sistem kerja tersendiri untuk menghasilkan rangkaian kata yang bisa jadi kelak lebih dahsyat dari bayangan Anda semula. Dalam konteks inilah Anda akan paham mengapa banyak orang mengatakan bahwa penulis adalah tuhan bagi karyanya dan mengapa banyak orang kecanduan menulis meskipun, katakanlah, hasilnya secara materi tak seberapa.
Percayalah, apapun bentuk tulisan yang ingin Anda tulis, dan sengawur apapun tiga kata yang dipilih, mekanisme ”jin ifrit” dalam otak kita – mengutip istilah Mohammad Diponegoro – akan menuntun kita untuk menulis. Ia akan menemukan jalannya sendiri. Jin ifrit ini juga yang membantu kita mengetik denganlancar. Jika pada awal belajar mengetik Anda akan mencari-cari setiap tuts untuk ditekan namun setelah Anda mengakrabi sang jin ifrit tersebut, tangan Anda akan menari lincah selincah Salsa atau Waltz papan ketik.
Jika beberapa paragraf sudah dibuat, sama seperti langkah Hemmingway, ia akan mengedit paragraf tersebut dan memperbaiki kekurangannya. Di sinilah peran kreatif otak kanan Anda – yang semula menjadi panglima dalam proses ”tiga kata” – akan diambil alih oleh otak kiri untuk mengedit dan melakukan sinkronisasi tulisan.
Kawan, sekali lagi percayalah, sekali Anda tergugah berbuka, Anda akan lahap menyantap makanan yang lain. Sama seperti lahapnya Anda menulis. Hingga akhirnya Anda akan ternganga dan bertanya-tanya sendiri,”Kok bisa ya saya menulis setebal ini?” Andrea Hirata, yang menulis novel Laskar Pelangi dalam tempo 2 minggu, mengaku mengalami fenomena ini.
Hanya saja, untuk idealnya, sebelum Anda kelak tergila-gila menulis, rasa ”lapar” menulis harus tercipta dahulu. Ia timbul lewat membaca atau mengalami peristiwa. Gola Gong melaparkan dirinya dengan berkeliling Asia naik sepeda. William Maugham berpesan,”Jika tidak ingin membaca, seorang penulis harus melakukan petualangan untuk melahirkan tulisan.” Mari kita ambil saja makna terluasnya. Pengalaman di sini adalah pengalaman batin maupun pengalaman fisik.
Nah, jika sudah ”lapar” selama ”berpuasa” maka berbukalah! Cukup dengan ”tiga kata”.

Empang Tiga, 28 April 2008
ps: tulisan ini pun persalinannya dibantu dengan pertolongan bidan ”jin ifrit” dan perangkat ”tiga kata”.








Tiga Jurus Penulisan
Oleh Nursalam AR*)

Seperti kata Gola Gong—novelis yang masyhur dengan novel Balada Si Roy—menjadi penulis adalah seperti menjadi seorang pendekar. Semakin terlatih, semakin handal jurusnya.
Nah, tiga jurus dasar penulisan yang ampuh adalah sebagai berikut.

Nama Pena

Seorang kawan meminta saya mengomentari tulisannya. Saya tertegun. Nama penanya unik, macaca fascularis, yang menurutnya nama spesies monyet berekor panjang di pedalaman Sumatera. Terdengar bagus di telinga. Memang banyak orang yang memakai nama Latin sebagai nama identitas. Seperti seorang kakak kelas SMA saya yang dinamai oleh orangtuanya Oryza Sativa (nama genus untuk padi). Sebuah nama yang cantik dan beraura positif. Barangkali sinonim dengan Sri, nama dewi padi yang banyak dipakai untuk nama perempuan di Jawa. Memang nama pena apapun adalah hak prerogatif seorang penulis. Yang lebih mengejutkan, seorang kawan di blog Multiply memperkenalkan identitasnya sebagai, maaf, beha38b! Dahsyat, bukan?
Perihal nama, William Shakespeare bilang, "What's in a name, rose is a rose", apalah artinya sebuah nama, mawar tetaplah mawar. Tetap harum mewangi. Sementara Nabi Muhammad SAW–diriwayatkan Bukhori—mengatakan bahwa nama adalah doa, di mana setiapkali orang memanggil kita maka itu adalah doa bagi kita.
Secara psikologis, atribut yang kita pakai termasuk nama diri atau nama pena memiliki dampak atau menimbulkan image (pencitraan) terhadap diri kita. Ada yang namanya "bad effect" (pengaruh buruk) atau "halo effect" (efek halo, semacam lingkaran cahaya yang biasanya melingkari kepala malaikat yang biasa kita lihat di film-film), asosiasi positif atau menguntungkan karena atribut yang disematkan pada diri kita. Contoh halo effect, jika kita mendengar nama seseorang "Yasmin Mumtaz" yang terdengar manis di telinga, ada asosiasi di benak kita bahwa pemilik nama itu pastilah secantik namanya. Dalam bahasa Arab, nama itu bermakna "melati yang istimewa". Sang empu nama memang seorang presenter dan produser salah satu stasiun TV swasta yang cantik dan cerdas.
Para produsen barang juga berlomba-lomba memilih nama yang bagus untuk produk mereka, unik dan bermakna positif. Terlebih jika kita merujuk pada fengshui-Hongshui Tionghoa yang amat detil mengkalkulasi potensi citra dan rejeki dari nama identitas kita.

Judul

Jurus kedua untuk menaklukkan pembaca adalah dengan membuat judul yang membuat penasaran, eye-catching. Awali tulisan kita dengan ledakan (bang), mengutip Ismail Marahimin dalam Menulis Secara Populer. Ada prinsip kuno—dengan majas ironi—dalam jurnalisme: Good news is bad news, but bad news is good news. Contoh klasiknya adalah berita yang luar biasa bukanlah anjing menggigit orang tapi orang yang menggigit anjing. Barangkali terkesan ngawur. Namun dalam konteks menarik perhatian pembaca, pendekatan tersebut bisa kita pakai. Misalnya dalam pemilihan judul. Seperti manusia, penampilan luar adalah hal penting. Dalam konteks ini, maaf, kata mutiara don’t judge the book by its cover menjadi kurang relevan.
Surat kabar nasional sejenis Poskota atau Rakyat Merdeka biasa memampang judul yang provokatif seperti: "JANDA DIPERKOSA, RAIB 300 JUTA". Meskipun kadang informasi tersebut hanya dibahas sekilas. Tapi intinya tonjolkan kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan kita. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi sebuah industri, yang karib dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih.
Dalil tentang pemilihan judul yang menarik atau eye-catching juga relevan di dunia maya atau permilisan di internet. Bayangkan, di antara banyak postingan atau berita, kita cenderung hanya memilih yang menarik perhatian. Contoh, sebuah tulisan mengenai kisah pengorbanan induk monyet untuk mempertahankan anaknya yang diberi judul "MENCINTAI SESAMA MAKHLUK TUHAN" tentu baik—tergantung untuk segmen konsumen siapa—tapi tidak menggairahkan, kurang sexy. Lebih menarik bila judul tersebut dikemas menjadi "MARI BELAJAR DARI MONYET", "NALURI KEIBUAN SEEKOR KERA " atau "BALADA KERA" atau judul-judul yang eye-catching lainnya.
Perlu diingat juga prinsip marketing yang kerap dikutip Zig Ziglar—salesman mobil terlaris dalam sejarah--bahwa “orang membeli karena didorong emosi". Coba pelajari emosi dasar apa sih yang memancing naluri pembaca untuk membaca? Judul yang memancing naluri seksual (itulah alasan RUU Anti-Pornografi perlu disokong untuk dilegalkan), SARA atau kebutuhan perut tentu lebih mengundang perhatian ketimbang seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca kita adalah ilmuwan, lain soalnya).
Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah basic needs yang merupakan dasar piramida dalam survival hierarchy, sementara kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi. Jadi judul untuk tulisan tersebut di atas bisa dikasih judul "NASEHAT DARI NENEK MOYANG DARWIN" (ingat teori Darwin tentang evolusi? Terlepas apakah kita mempercayainya atau tidak) atau "MONYET JUGA MANUSIA(WI)" yang merujuk pada sifat-sifat kemanusiaan yang luhur. Lebih jauh judul juga perlu disesuaikan apakah kita akan mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini wajib hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.

Dialog dan Narasi

Seperti dalam dunia kuliner, dialog adalah ingredient yang penting. Rekannya, narasi, juga tak kalah penting. Porsi keduanya harus pas, agar tidak kepedasan atau terlalu hambar. Salah menempatkan keduanya bisa berabe. Menurut Afifah Afra, novelis Bulan Mati di Javasche Orange—novel sejarah yang konon disejajarkan dengan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer--narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh pembaca. Tetapi terlalu banyak memainkan jurus narasi alih-alih menyegarkan justru bikin pembaca ngantuk dan pegal membacanya.
Di sisi lain, ada adagium penulisan don't tell it but just show it. Jangan cuma diceritakan tapi juga tunjukkan. Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap saripatinya. Di sinilah dialog berperan. Karena dialog pun dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. Josiph Novakovich dalam Berguru kepada Sastrawan Dunia (Mizan, 2003) mengatakan: “Karena dialog mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan Anda tidak memberi kami informasi yang sepele dan tidak relevan. Hindari pendahuluan yang realistis; buatlah ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk ke dalam dialog….Jangan tunjukkan semua contohnya, sajikan yang dramatis, saat diperlukan saja, dan sajikan yang lainnya dalam bentuk ringkasan." (hal. 182-183).
Namun, terlalu banyak dialog, ujar Mohammad Diponegoro dalam Yuk Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1991), bisa bikin tulisan terlalu encer. Jadi memainkan keduanya butuh nilai rasa, seperti memainkan gas atau persneling ketika mengendarai motor atau mobil. Seperti masakan pula, coba minta keluarga atau sahabat kita untuk ‘mencicipi’ tulisan kita. Apakah sudah ganyeng atau bumbunya sudah pas? Sudahkah mencapai efek yang kita inginkan?
Jika belum, mari banyak berlatih menulis dan membaca. Ini juga nasihat untuk saya pribadi. Selain itu, persiapkan mindset kita dalam menulis karena menulis seperti meludah dan buang hajat, harus ikhlas. Dari sekian banyak tulisan yang belum baik kelak seiring bertambahnya jam terbang dan referensi bacaan pasti muncul yang terbaik. Practice makes perfect.
Kritik juga bahan bakar bagi energi kepenulisan. Ibarat sebuah bahtera, kritik adalah angin yang justru mendorongnya bergerak sampai ke daratan harapan. Selain itu, seberapapun kadarnya, mari berbagi apa yang kita tahu. Karena berbagi ilmu itu sesungguhnya sedekah, dan setiap sedekah berbuah keuntungan baik berupa tambahan ilmu atau manfaat lainnya.


Ruh Sebuah Tulisan
Oleh Nursalam AR

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di Indonesia saat ini. Yakni novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya -- yang digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya. Sementara Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain best-seller nasional, dielu-elukan sebagai The Indonesia’s Most Powerful Book di berbagai talkshow termasuk di layar kaca, Laskar Pelangi juga akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.

Lebih mengagumkan lagi, Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata yang belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov---yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi. Habiburrahman yang santri Al Azhar kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.

Namun tak ada karya manusia sesempurna kitab suci. Banyak kritik yang datang untuk kedua karya tersebut. Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau poligami – seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film Ayat-Ayat Cinta – hingga cibiran untuk Laskar Pelangi bahwa keberhasilannya semata-mata karena trik pemasaran yang canggih. Kita pun mafhum bahwa keduanya bukanlah kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik tak proporsional juga ibarat racun. Melemahkan si orang sehat. Dalam hal ini berlaku kebenaran pepatah ‘makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa’. Ini keniscayaan hukum alam yang diguratkan Tuhan. Karya sastra sekaliber roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya Hamka atau Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga dicap tak enak: picisan, cabul dan cengeng. Tetapi perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?

Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya karya-karya besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel Uncle Tom’s Cabin buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi semangat perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya. Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.

Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping juga ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).

Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam hukum Kekekalan Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk. Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria gadis-gadis berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau tobat totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata. Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.

Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal dari kata bahasa Arab, “nur” yang artinya “cahaya”. Hati adalah tempat cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah perkawinan kimiawi yang serasi.

Di sisi lain, seseorang dapat menjadi aktivis Marxisme tulen setelah membaca Das Capital-nya Karl Marx. Barangkali dedikasi Marx selama setiap hari dalam 20 tahun berkutat di perpustakaan umum – dengan biaya hidup disokong rekannya, Friedrich Engels – untuk menyusun Das Capital menjadikan energi kemarahannya terhadap kapitalisme dan kemiskinan tersalurkan tuntas dan meradiasi sebagian pembacanya. Inilah yang harus diakui secara fair kebenaran makna pepatah bahasa Arab, man jadda wa jada, siapa berusaha keras maka ia akan memperoleh hasilnya. Siapapun pelakunya.

Di ujung spektrum lain, banyak penulis menimba energi Ilahiah melalui olah kontemplasi kepada Tuhan, Zat Tertinggi, sang causa prima yang menggerakkan semesta sebagai sumber inspirasi. Para ulama, misalnya Sayyid Quthb – dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an – terbiasa melakukan sholat tahajud sebelum mulai menulis. Sementara Barbara Cartland, yang populer dengan novel-novel romantisnya, melakukan ritual berdandan sedemikian rupa sebelum menulis. Semata-mata demi memompa kepercayaan diri, menimba energi kepenulisan.

Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari ‘anak-anak’ tulisan kita. Bahkan kita adalah ‘tuhan’ atas segala tulisan kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.

Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau soul. Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai. Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada yang--dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.

Kampung Melayu, 24-25 Maret 2008
www.nursalam.multiply.com





Menjadi Epigon, Salahkah?
Oleh Nursalam AR

“Yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri...”
(John Cowper Powys)

Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang berada di depannya. Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon. Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya. Lantas salahkah menjadi epigon? Salahkah bila kita meniru gaya bertutur JK Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan Mohammad?
Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Bayi manusia belajar berbicara dengan mengamati dan menirukan suara-suara di sekitarnya terlepas dari apapun penafsiran manusia dewasa akan hasil peniruan sang bayi. Demikian juga dalam kepenulisan. Prinsip copy the master adalah kelaziman—sebagian buku panduan menulis bahkan menyebutnya “kewajiban”—dalam tahap awal pembelajaran menulis. Sebagian penulis besar Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku Proses Kreatif—dari A.A Navis sampai Arswendo Atmowiloto—bahkan menerjemahkan prinsip tersebut dengan menyalin atau mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka untuk kemudian dibaca dan dibedah isi perutnya.
Tak heran Pramoedya Ananta Toer—satu-satunya kandidat “abadi” penerima hadiah Nobel Sastra dari Indonesia—tak malu mengakui bahwa ia terpengaruh dengan gaya John Steinbeck. John Steinbeck adalah pengarang peraih Nobel Sastra kelahiran Amerika Serikat yang digjaya dengan novel-novel realisnya seperti Of Mice and Man (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pram menjadi Manusia dan Tikus), The Grapes of Wrath dan Pearl. Atau seorang Achdiat Kartamihardja dengan roman legendaris Atheis yang jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang Perancis Victor Hugo yang masyhur dengan roman Les Miserables.
Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Ia butuh mengamati dan ia butuh asupan bergizi. Dalam Sastra dan Tekniknya (1997), menurut Mochtar Lubis, tiga perangkat wajib seorang pengarang atau penulis adalah observasi, imajinasi dan logika. Dan ASI bagi sang “bayi” penulis adalah buku. Seperti ucapan Mark Twain,“The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them.” Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tak ada bedanya dengan orang yang tidak bisa membaca. Sementara Samuel Johnson (1709-1784), seorang penulis berkebangsaan Inggris mengatakan,”Sebagian besar waktu seorang penulis dihabiskan untuk membaca agar bisa menulis. Ia perlu membuka halaman separuh isi perpustakaan untuk menciptakan sebuah buku.”
Sebagai “bayi”, meniru atau mengimitasi adalah perlu. Tak perlu malu menuruti George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm, yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar pembaca terang dengan maksudnya. Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya. Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya. Juga tak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway—yang piawai dengan diksi yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni For Whom The Bells Toll dan The Oldman dan The Sea—bahwa cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.
Namun hidup manusia tak sekadar dan tak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak. Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng Peter Pan dengan peri Tinker Bell-nya. “Bayi” butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi. Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Atau dalam bahasa John Cowper Powys, “Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya.” Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apapun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.
Itulah yang menjadi keunikan setiap pengarang atau penulis. Karenanya gaya menulis tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa dipelajari dan ditiru. Dan tiada jalan pintas untuk mendapatkan gaya menulis tersebut. Persis seperti yang diungkapkan William Faulkner dalam sebuah wawancara bahwa tidak ada jalan mekanis untuk mengarang. “Pengarang muda akan bodoh untuk mengikuti suatu teori. Ajar dirimu dengan kesalahan-kesalahan yang engkau buat sendiri. Orang hanya belajar dengan membuat kesalahan.”
Jadi, salahkah menjadi epigon?
Maybe yes, maybe no.
Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar. Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis. Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang. Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya.
Tidak, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan yang entah sekian tahun lamanya itu sekadar sebagai masa pendadaran, masa awal pembelajaran yang tentu saja waktunya pun tidak mungkin selamanya. Anggap saja fase menjadi epigon itu sekadar fase ketika kita mulai menaiki bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap keberanian kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti bebasnya ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika terputus dari tubuh inangnya. Jika kita berani mandiri seperti—sebuah contoh yang sangat minimalis--ekor cecak maka kita adalah para epigon kreatif yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana berhaknya bayi tumbuh gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.

Sayap-sayap keberanian itu sendiri tak mungkin tumbuh tanpa--dalam formula untuk menjadi pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner—99% disiplin dan 99% kerja. “Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu sendiri,” pesan sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis ini.

Jakarta, 3 Agustus 2007
















Bagaimana Menulis Opini?
Oleh Nursalam AR

Bagaimana menulis tulisan bergenre opini? Banyak pertanyaan demikian yang hinggap kepada kita. Satu kunci praktis, cermati logika dan diksi alias pilihan kata yang kita gunakan. Untuk meyakinkan orang, jenis tulisan opini mengandalkan logika melalui diksi yang efektif. Akan lebih baik jika kita belajar langsung dengan praktek dan contoh kasus.

Nah, berikut ada dua contoh tulisan opini yang sampai kepada saya. Kebetulan di salah satu organisasi kepenulisan, saya diamanahi menjadi mentor menulis. Dan dua penulis muda dan berbakat ini termasuk salah satu dalam kelompok mentoring kepenulisan saya. Dalam bentuk aslinya, kedua tulisan di bawah ditulis tangan dengan minimal 5 paragraf dan hanya diberi waktu maksimal 30 menit untuk penyelesaian. Cara menulis cepat (fast writing) cukup berguna untuk mengalirkan ide dengan cepat--demi mengatasi kebekuan dan kelambanan berpikir--sebelum akhirnya kita menghasilkan tulisan yang padu dan lengkap.

Tulisan 1: “Matinya Sebuah Media”
“Pembohong dusta!” bentak seorang politikus ternama bangsa ini. Kita pun sering menemukan “kebohongan” di atas lembar kertas media. Kadangkala bahkan sering media dijadikan alat efektif menyebarluaskan “virus” kebohongan. Media apapun itu tak lepas dari penyakit ini.

Media elektronik, media cetak dan media komunikasi lainnya patutlah kita kritisi. Televisi misalnya. Betapa banyak “virus” kebohongan memasuki media ini. Kita sudah sering menyaksikan tayangan sinetron yang membohongi pemirsa.

Ambil contoh, sinetron yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV negeri ini. Sinetron itu menceritakan seorang cewek yang menyamar menjadi lelaki. Pemeran utama, sang cewek itu, hidup sekamar kos dengan cowok. Anehnya, cowok itu tidak mampu mengidentifikasi penyamaran sang cewek.

Secara nalar, hal itu tak mungkin terjadi. Seorang lelaki dan perempuan perbedaannya jelas. Tidak ada “gray area” di situ. Keduanya memiliki perbedaan yang terang benderang.

Saya pikir, semua media, media apapun itu, nalar, kejujuran adalah hal utama. Tidak perlu membohongi diri sendiri atau membohongi publik. Tidak perlu!

Kalau saja media bangsa ini bersikukuh menyebarluaskan “virus” kebohongan, tidak menutup kemungkinan media bangsa ini segera wafat, berguguran, dan hilang tanpa bekas.

Komentar:
Secara teknis, tulisan yang bergenre opini ini OK. Meski ada beberapa catatan:
1. Perhatikan kalimat pembuka : “Pembohong dusta!” bentak seorang politikus ternama bangsa ini. Pertanyaan: Kenapa ia memaki? Dalam konteks apa ia marah?Tentu lebih pas jika disebutkan dalam kasus apa sang pejabat memaki. Misal, dalam kasus dugaan korupsinya yang disebarluaskan media. Jadi pembaca dapat melihat relevansi antara kalimat pembuka dan tema besar tulisan. Get the reader connected at first chance! Itu prinsipnya.
2. Berkali-kali kata “virus kebohongan” diberi tanda kutip. Memang kata ini dalam konteks kebohongan media bermakna konotatif, bukan makna sebenarnya. Tetapi lazimnya, termasuk dalam jurnalistik, jika di bagian awal kata tersebut sudah diberi tanda kutip maka di bagian selanjutnya tidak diperlukan lagi tanda kutip tersebut. Contoh: Betapa banyak “virus” kebohongan memasuki media ini (paragraf 1). Maka selanjutnya seperti di paragraf 6 kata “virus” harus ditulis tanpa tanda kutip lagi sbb: “Kalau saja media bangsa ini bersikukuh menyebarluaskan virus kebohongan…”
3. Hindari ballast (kata yang mubazir atau berlebihan). Pramoedya Ananta Toer berpesan bahwa kata yang baik semestinya “berdentang”.Maksudnya, efektif dan “bunyi”, tidak berlebihan. Perhatikan kalimat akhir: “…tidak menutup kemungkinan media bangsa ini segera wafat, berguguran, dan hilang tanpa bekas.” Cukuplah “…berguguran dan hilang tanpa bekas.” Jika ingin lebih “bunyi”, pakai saja kata “mati” ketimbang “wafat” yang lebih menyiratkan kondisi kematian yang lebih mengenaskan seperti kematian hewan atau tumbuhan seperti “…mati dan hilang tanpa bekas.”

Untuk isi tulisan, idenya menarik tentang premis matinya sebuah media karena soal kebohongan. Sayang argumen lemah dan kurang dieksplorasi. Perhatikan isi paragraf 1. Semestinya jika dieksplorasi lebih di mana penulis mencoba berpikir radikal (mendasar dan bebas) dan penuh rasa ingin tahu mestinya penulis harus mengulas mengapa media terdorong menyebarkan virus kebohongan. Faktor dominasi modal asingkah? Idelogiskah?Atau apa? Alhasil, jika demikian, opini menjadi lebih balance (seimbang) dan tidak sekadar teriakan penghakiman sepihak.

Catatan lain, lihat paragraf 3, 4 dan 5, penulis menyoal betapa mustahilnya sang cowok tidak mengetahui bahwa teman sekamarnya berjenis kelamin lain. Yang aneh, setelah pada paragraf 3 dan 4 menyoal “kemustahilan” tersebut—yang sebetulnya debatable karena bisa jadi ada teknik penyamaran yang canggih—penulis mengaitkan dengan prinsip kejujuran media. Duh! Ini bagaikan membandingkan apel dengan duren.

Marilah kita berpikir lateral seperti anjuran Edward D. Bono. Sinetron pada hakikatnya, seperti karya fiksi yang lain, bertujuan “membohongi” dalam pengertian positif. Jadi jangan dikontradiksikan dengan peringatan Qur’an soal para penyair yang lancung dalam Surah Asy-Syu’ara. Nah, contoh yang dikemukakan penulis, dengan mengambil contoh sinetron tersebut, bukanlah soal kebohongan tetapi lebih mengenai ketidakprofesionalan penggarapan cerita atau penyutradaraan. Di samping itu, argumen soal kemustahilan tsb seperti saya sebutkan di awal rawan menjadi bahan perdebatan (debatable) yang malah mengurangi nilai tulisan ini. Sebaiknya pungut argumen yang kuat dan logis dan bebas dalam tulisan bergenre opini ini.

Tulisan 2: “Sebuah Politik Media”
Bagaimana dengan suatu sebutan kita di sebut sebagai “penulis”? Kita berbangga, bersukacita, kita akan di kenal. minimal kita akan menjadi bahan pembicaraan di suatu media. Kita tentu akan menjadi lebih dari pada yang lain. Kita lebih bisa mengeksplorasi diri kita.
-Begitu banyak tempat kita untuk menulis, Ada media cetak, media audiovisual, media saja. Dan tentu pilihan kita untuk menjadi aktor mengisi segala media itu. Jadi begitu banyak media yang akan menjadi tempat kita untuk menumpahkan karya kita.
-Tak lelah untuk mengirim karya harus menjadi tonggak semangat bagi kita. tapi kita lihat dulu bagaimana sebuah media ini, banyak sekali faktor yang membuat suatu media mau menampangkan karya kita untuk dinikmati konsumennya.
-Sebuah media adalah sebuah corporate yang mempunyai banyak sekali kaki untuk membuat suatu media itu bisa tetap eksis dan tentunya satu ideologi yang sama antara kaki penopang suatu media adalah sesuatu yang tidak bisa di ganggu gugat oleh kita seorang penulis, kalaupun yang kita tawarkan tidak sesuai dengan idiologi sebuah media ya kita tidak usah berkecil hati banyak sekali media yang mau menerima karya kita, karena banyak sekali media yang mengusung idiologi yang berbeda.
Bukankah begitu enaknya kita hidup di era ini. Begitu media yang dapat kita nikmati dan begitu juga banyak media yang akan menjadi alat kita untuk tempat eksplorasi diri, dan yang tak kalah penting dengan media kita dapat memberikan satu ibrah bagi sesama.
Dan inilah kesempatan kita untuk bisa mendobrak media agar mau menampangkan karya kita tanpa lelah kita berkarya karena kita menjadi tuan bagi diri kita sendiri.

Komentar:
Kesan pertama saya membaca tulisan ini: lelah! Banyak pergantian antarkalimat yang tidak ditandai dengan tanda titik. Demikian juga tanda koma yang bertebaran di mana-mana. Padahal tanda koma dalam tulisan tidaklah mesti sama seperti jeda nafas kita jika mengucapkan kalimat secara lisan. Faktor pemaragrafan yang tak jelas juga cukup menyiksa. Tolong gunakan pemaragrafan menjorok ke dalam atau berjarak satu ketukan di bawah.Selain itu, penulis juga harus lebih cermat membedakan ragam bahasa lisan atau tulisan. Sekali lagi, ini bukan bukan masalah benar atau salah tetapi lebih pada kepantasan, cocok atau tidak dengan gaya dan sifat tulisan.

Cermati juga pelafalan kata asing seperti ideology yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi “ideologi” bukan “idiologi”. Itu mengingatkan saya pada ejaan buku-buku tahun 50-an .

Soal judul, “Sebuah Politik Media”, agak ambigu atau mendua. Maksudnya apakah berarti ada sebuah (kebijakan) politik yang ditempuh media? Ternyata jika terus dibaca hingga akhir tidak demikian maksudnya.Tulisan ini lebih cocok diberi judul “Politik Media”. Sementara diksi atau pilihan kata, seperti judul, banyak yang tidak “bunyi”. Sebaiknya penulis banyak-banyak membaca buku atau koran agar wawasan atau kosakatanya bertambah. Contoh, seperti di paragraf 3, lebih cocok menggunakan kata “memampang” bukan “menampangkan”. “Menampangkan” berasal dari kata “tampang” yang lebih cocok untuk citra persona atau orang. Tidak dapat untuk menggantikan istilah “menerbitkan” atau “mempublikasikan”. Nah, banyak membaca menjaga agar logika tulisan tidak semrawut seperti dalam tulisan ini. Konon orang yang banyak menulis cenderung memiliki pola pikir yang teratur. Sayangnya tulisan yang bagus ini tidak ditopang dengan logika yang teratur dan kuat. Alhasil, menjadi lemahlah ia.

Namun, saya suka idenya. Tulisan ini ibarat intan yang tersaput lumpur. Ia hanya perlu digosok keras-keras agar mengkilat dan keluar cahayanya. Maka penulis lebih baik menggosok “intan” tersebut dengan banyak membaca buku-buku fiksi atau teknik menulis sehingga diksi lebih efektif dan teknik lebih OK.

Bagaimana?

Semoga ada manfaat yang dapat diambil. Keep writing!

Jakarta, 31 Agustus 2007



Contoh Opini
Intellectual Idol: Paradoks Reformasi*)
Oleh Nursalam AR*)
Ada fakta menggelitik sekaligus ironis menjelang sewindu pergerakan reformasi di Indonesia (1998-2006). Sejarah mencatat, sebagai musuh abadi, kaum intelektual memiliki saham besar dalam setiap proses keruntuhan rezim otoritarian. Sejak zaman Kaisar Louis XIV (Perancis), Syah Pahlevi (Iran), Czecescu (Rumania), Pinochet (Chili) hingga Park Chung Hee (Korea Selatan). Bahkan Soeharto sebagai simbol Orde Baru di Indonesia —sekaligus rezim terkuat dan terawet di Asia Tenggara-- ditumbangkan oleh gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa. Namun, gerakan kolektif dan masif yang dimotori mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual untuk menentang suatu rezim otoritarian di Indonesia tersebut—yang bahkan menjadi model perjuangan serupa di Zimbabwe, Myanmar atau Filipina sehingga dijuluki “student miracle”—ternyata tidak dilakoni oleh kaum intelektual dalam artian sejati—yang giat mengkampanyekan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan-tulisan seperti gerakan perlawanan serupa di Korea Selatan, Kuba, Chili atau Indonesia era 1966 yang diwarnai kehadiran harian Angkatan ’66, Angkatan Baru (HMI), KAMI (pimpinan Nono Anwar Makarim) dan Mahasiswa Indonesia edisi Bandung (pimpinan Rahman Tolleng) yang merupakan koran-koran mahasiswa terbesar berskala nasional yang turut dibreidel pada peristiwa Malari 1974 setelah bertahan sejak 1966.
Tipe aktivis ’98 adalah aktivis jalanan yang berdiskusi di kafe dan mengorganisir aksi-aksi massa secara sporadis, dan tidak menyuguhkan wacana intelektual alternatif melalui tulisan-tulisan media massa kepada publik untuk kemudian ditindaklanjuti dengan aksi massa seperti pada era Soe Hok Gie (1966) atau Soekarno semasa menjadi mahasiswa ITB dengan Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi-nya(1920an). Hanya segelintir aktivis yang rela berjuang dalam sunyi menggulirkan wacana-wacana alternatif di surat kabar kampus atau nasional ketimbang larut dalam gemerlap lampu sorot TV dan kerumunan wartawan selepas press conference, demonstrasi atau seminar ala selebritis. Barangkali, tanpa bermaksud menuding, inilah refleksi dari kemampuan intelektual mahasiswa Indonesia era 90-an yang disebut sang penyair Taufik Ismail sebagai “rabun membaca dan lumpuh menulis”. Barangkali ini pula yang menyebabkan agenda reformasi tak kunjung tuntas.
Sebagai elemen elite masyarakat atau—dalam bahasa Soe Hok Gie—“the happy selected few”, kaum intelektual yang persentasenya dalam masyarakat ibarat lapisan tipis kulit bawang memiliki tradisi—yang mencerminkan kematangan intelektual sebagai buah pendidikan yang dienyam—budaya literasi (budaya baca-tulis) yang tinggi, aktif membaca dan produktif menulis. Inilah budaya yang merupakan puncak peradaban intelektual manusia; cerminan masyarakat yang matang. Bahkan negara-negara maju rata-rata memiliki budaya literasi yang kuat sebagai parameter tebal-tipisnya lapisan intelektual di suatu negeri.
Tingginya tingkat budaya literasi adalah simbol jiwa yang merdeka, merdeka berpikir, salah satunya. Kemerdekaan berpikir adalah hak asasi umat manusia yang dianugerahkan Tuhan. Kekuasaan negara sekalipun tak berhak merenggut kemerdekaan tersebut. “Orang tidak dapat dihalang-halangi untuk memikirkan apa saja yang ia kehendaki selama ia menyembunyikan buah pikirannya. Pekerjaan otak hanya dibatasi oleh batas-batas pengalamannya dan daya khayalnya,” tulis J.B Buri dalam Sejarah Kemerdekaan Berpikir (1963). Kemerdekaan berpikir secara inheren merupakan satu mata rantai tak terpisahkan dengan kemerdekaan berpendapat. Ekspresi dari sebuah pemikiran adalah pendapat yang tercurah melalui lisan atau tulisan. Terlebih manusia secara naluriah mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi dan menyalurkan gagasan-gagasannya.
Salah satu kesalahan terbesar rezim Orde Baru—dan rezim-rezim otoritarian lainnya--adalah menindas kemerdekaan berpikir rakyatnya. Rezim Orde Baru adalah sebuah sistem di mana feodalisme mendapatkan ruang hidupnya. Setidaknya ada tiga hal yang diberangus di dalam sistem Orde Baru menurut Yasraf Amir Piliang(2001), yaitu (1) daya kritis, (2) daya kreatif, dan (3) daya spiritualitas. Dengan tidak berkembangnya daya kritis maka tidak berkembang pula daya kreatif. Masyarakat selalu diselimuti ketakutan untuk menyampaikan ide-ide baru. Ide-ide baru justru jatuh dari atas. Secara riil, rezim Orde Baru konsisten melakukan hal tersebut—yang juga dilakukan rezim-rezim despotik di manapun dan kapanpun—secara masif dan eskalatif terutama dengan kebijakan P-4 dan asas tunggal Pancasila. Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities (1981) mengilustrasikan mesin-mesin pikiran Orde Baru menciptakan sebuah masyarakat yang mayoritas diam (silent majority), yang bagaikan sebuah sarang laba-laba, menangkap dan memamah apapun yang disuguhkan kepada mereka oleh siapapun termasuk penguasa.
Inilah paradoks reformasi di Indonesia. Tak hanya kalangan aktivis mahasiswa, paradoks ini juga menjangkiti senior-seniornya, para intelektual tamatan perguruan tinggi yang menjadi dosen atau pegawai negeri dan banyak nyambi sebagai staf ahli menteri atau think-thank pemerintah. Kegemaran tampil sebagai idol—dalam kancah yang disorot publik dan dielu-elukan massa—menyebabkan mereka lebih senang berbicara di ruang-ruang seminar ketimbang menulis di media yang lebih bernas namun sunyi applause. Tak jarang pula mereka berselingkuh dengan rezim despotik dan mencari “kerajaan di dunia ini” dengan berlindung di balik tampuk kekuasaan dan mempertaruhkan otoritas keilmuannya sebagai tameng kekuasaan berlabel “cendekiawan” beserta tameng-tameng lain yang berlabel “militer”, “birokrat” maupun “pemuka agama” untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak pro-publik dengan dalil-dalil ilmiah. Tak luput pada masa SBY-JK dengan mengatasnamakan lembaga survei yang menjustifikasi kenaikan harga BBM yang irasional dan segala keberhasilan parsial pemerintah saat ini.
Padahal sejarah peradaban menyiratkan bahwa musuh permanen penguasa yang despotik atau rezim otoritarian—yang membelenggu kemerdekaan jiwa--adalah kaum intelektual. Mengapa? Seorang Julien Benda menemukan jawabnya,“Intelektual adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Kaum intelektual adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian—dalam artian tertentu—kerajaannya bukanlah di dunia ini.” (The Treasons of The Intellectuals, 1928)
Bagi Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor). Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya. Dalam bahasa Edward Schills (1972), “Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran.”
Namun, teori adalah satu hal dan Indonesia adalah hal yang lain. Tak salah bila Indonesia dijuluki the land of possibilities, negeri tempat segala kemungkinan dapat terjadi bahkan segala kemungkinan yang meruntuhkan teori-teori baku dalam politik dan sosial-budaya. Termasuk sistem pendidikan Orde Baru yang membelenggu kemerdekaan berpikir tetapi sukses melahirkan “anak-anak muda pemberang’’—meminjam istilah Jose Anwar, aktivis ’66—yang merontokkan sistem politik Orde Baru itu sendiri yang sekaligus mentransformasi citra intelektual-aktivis yang penulis-ideologis menjadi sosok aktivis-selebritis yang friendly bahkan bergenit-genit dengan industri media. Mungkin suatu saat kita perlu adakan polling SMS untuk memilih intellectual idol of the year. Bagaimana?
*) Penulis adalah penerjemah lepas dan mantan aktivis mahasiswa Universitas Indonesia. -Dimuat di Koran Pak Oles (Bali) Edisi 97 16-31 Januari 2006, hal.6 & situs www.rumahdunia.net.







Contoh Esai

Gadis atau Janda?
Oleh Nursalam AR

Kau masih gadis atau sudah janda?
Katakan saja jangan malu…

Makna syair sebuah lagu dangdut klasik yang dinyanyikan duet salah satunya oleh Elvi Sukaesih itu mungkin saat ini tidak terlalu relevan. Apalah daya. Zaman sudah berubah. Nilai moral konon berubah-ubah sesuai standar masyarakat. Celakanya, masyarakat pun berubah-ubah perilaku dan cara pandangnya dalam menilai sesuatu. Masih ingat busana keluarga Laura Ingalls dalam novel anak Little House On The Prairie yang kemudian difilmkan?Ya, busana yang tertutup rapat nan sopan dengan rok panjang menggembung. Itulah potret masyarakat Amerika Serikat pada suatu kurun waktu. Di kurun waktu yang lain, busana seperti itu hanya jadi kenangan dan dongeng di zaman kakek-nenek mereka.
Tak heran jika Asy-Syahid Sayyid Quthb—sang aktivis pergerakan dan sastrawan Mesir yang masyhur dengan buku Ma’alim Fith Thariq (Petunjuk Jalan) dan Fi Dzilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Qur’an)--punya formula dalam teori pembentukan masyarakat madani (civil society). Menurutnya, jika enam puluh persen masyarakat sudah berperilaku beradab atau Islami maka masyarakat itu dapat dikatakan sebuah masyarakat ideal.
Juga tak heran, dalam catatan seorang sosiolog ketika membahas kasus rekaman video syur seorang mantan wakil rakyat, jika dulu ketika era 50an beredar foto mesum seorang artis cantik orbitan sutradara Usmar Ismail—bapak perfilman Indonesia--banyak pasangan kekasih yang kontan berpisah atau para istri yang menuntut cerai karena pasangan mereka kedapatan memiliki foto sang artis tersebut. Konon foto itu dianggap mesum karena memperlihatkan belahan dada dan sedikit bagian paha yang terbuka bebas.Tapi kini ketika sang suami tertangkap tangan berselingkuh dengan wanita lain bahkan dengan bukti rekaman video yang sangat vulgar, sang istri justru tampil membela sang suami bejat di depan khalayak ramai. Adakah yang salah? Entahlah. Yang jelas ada yang hilang. Yakni rasa malu.
Kencingilah air zamzam maka kamu akan terkenal, demikian bunyi salah satu pepatah Arab. Artinya kadang untuk populer harus ada yang dikorbankan. Yakni rasa malu. Dalam pemaknaan positif, hal itu dapat mendorong berlipat gandanya semangat kita menjemput kesuksesan. Dalam pemaknaan negatif bahkan pejoratif, kita kehilangan esensi kebermaknaan hidup kita sendiri. Yakni iman. Rasa malu itu sebagian dari iman. Tidaklah beriman seorang Muslim ketika ia berzina. Pada saat itu lepaslah iman dari dadanya. Belasan abad silam Nabi Muhammad SAW telah berbicara mengenai sebuah pondasi moral dan etika masyarakat. Sebuah nilai yang abadi, universal dan hakiki.
Pertanyaan “gadis atau janda?” mungkin sangat amat relevan ketika sebuah keperawanan (virginity) menjadi tolok ukur dan standar moral suatu masyarakat. Seperti yang dituturkan Nawal El Saadawi dalam novel Perempuan Di Titik Nol mengenai kebiasaan masyarakat tradisional Arab mengarak potongan kain bernoda darah keperawanan seorang pengantin wanita pada malam pertamanya. Sebuah tradisi yang dilestarikan untuk menjunjung nilai sebuah keperawanan sebagai simbol peradaban moral. Namun juga sebuah tradisi yang dapat dikatakan naïf. Karena dalam tinjauan medis seorang pengantin yang paling perawan sekalipun bisa saja tidak mengeluarkan darah pada malam pertamanya karena saking alotnya sang hymen alias selaput dara. Atau justru ia kehilangan “keperawanan” saat memanjat pohon atau gemar bersepeda sewaktu remaja. Lagi-lagi, karena tipisnya selaput dara yang dimiliki sang dara.
Di belahan bumi Eropa pada abad pertengahan, para bangsawan kerajaan juga tak kalah naifnya. Para perawan mereka “dipersenjatai” dengan chastity belt, sabuk keperawanan dari besi yang dilengkapi gembok dan lubang kunci untuk menjaga kesucian mereka. Benar-benar sebuah penjagaan dalam arti sebenarnya. Dalam film Robinhood: Prince of Thieves (1991) besutan Kevin Costner digambarkan seorang bandit rival Robinhood yang ingin menodai Marion harus berjibaku berebut anak kunci guna melampiaskan birahinya. Karena kendati busana sang kekasih Robinhood sudah tuntas terlucuti namun niatnya terhalang sabuk keperawanan yang dikenakan Marion. Alhasil, finishing touch pun gagal!
Jika Anda tersenyum membayangkan unik atau naifnya ide sabuk keperawanan tersebut, jangan harap semua orang berpikiran serupa. Pada 1999, ketika sebagai dampak keterbukaan informasi akibat reformasi 1998 menyeruak dari balik karpet tingginya angka perkosaan dan aborsi di Indonesia, seorang perancang busana dari Solo meluncurkan prototipe sebuah sabuk keperawanan versi modern yang menurutnya lebih ringan karena terbuat dari bahan yang ringan, kuat dan berlapis-lapis. Sehingga barangkali setidaknya membuat para calon pemerkosa kapok karena kelelahan membukanya sekaligus memberi waktu sang bakal korban berteriak minta tolong atau melakukan perlawanan. Ide yang kongkret dan kreatif, sebetulnya. Permasalahannya, bagaimana jika sang bakal korban sendiri yang secara sukarela membukanya atau dalam bahasa populer kasus perzinaan: suka sama suka?
“Keperawanan hanyalah masalah selisih beberapa detik saja,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu kumpulan cerpennya. Ini masalah teknis saja, maksudnya. Secara teknis, seorang wanita bisa jadi masih perawan semata-mata karena tidak ada penetrasi alat tumpul ke dalam gua garbanya. Tapi bagaimana secara hakikatnya? Inilah makna di balik ucapan populer yang barangkali sering kita tirukan bak beo,” Don’t touch me!”. Jangan sentuh. Jika para gadis konsekuen mengamalkan ucapan tersebut dalam pengertian sebenarnya niscaya mereka tidak sekadar technically virgin, secara teknis perawan tapi tubuhnya sudah “dijarah” dengan etos “sedikit bicara banyak kerja” yang populer dalam kamus umum bebogohan era modern.
Era yang katanya maju namun sebenarnya primitif. Karena bagai pinang dibelah dua dengan perilaku penduduk kota Pompeii (Italia)—dalam temuan Harun Yahya--yang musnah dihajar letusan gunung Vesuvius dan banyak korban didapati berpuluh-puluh tahun kemudian membatu dalam posisi bersenggama. Sebuah gambaran meluasnya perilaku seks bebas dalam sebuah masyarakat di suatu kurun waktu. Lebih jauh ke belakang sama seperti akhlak orang Romawi kuno yang mengagungkan kebebasan seks dan mendapat antitesisnya pada Abad Pertengahan di Eropa—yang secara ekstrem—berupa penisbahan sumber bencana seksual itu pada kaum perempuan yang dianggap menjadi penggoda laki-laki dengan kodrat keindahan tubuh dan suaranya. Tak dapat dipungkiri asal-muasal kutukan tersebut bermuara pada sebuah mitologi Eropa kuno bahwa sang nenek moyang manusia, Eva (baca: Hawa) yang merayu Adam agar memakan buah keabadian sehingga mereka terusir dengan hina ke muka bumi.
Soal keperawanan adalah juga soal ekstremitas. Di satu kutub sebagian orang mengagungkan keperawanan dalam pemaknaan yang sempit seperti dalam tradisi “pengarakan kain pada malam pertama” di jazirah Arab tersebut dan di kutub ekstrem yang lain sebagian orang menggampangkan keperawanan seperti gampangnya orang buang hajat. Murah, bahkan diobral. Dalam varian kutub ini, keperawanan diperlakukan sebagai hal yang relatif.
“Enggak masalah cewek gue perawan atau nggak. Nggak penting bo!” ujar seorang pelakon pria dalam sebuah reality show cinta-cintaan di sebuah televisi swasta. “Dapet yang perawan yah syukur. Kalo nggak, no problem.” lanjutnya enteng.
Seperti relatifnya sebagian anak muda memaknai pernikahan atau perkawinan. Dua kata yang bahkan dalam undang-undang atau dokumen negara dapat saling dipertukarkan dan dianggap sama maknanya ternyata dapat ditafsirkan berbeda bahkan secara diametral. Kendati barangkali—dapat dianggap--dalam level kelakar belaka.
“Sudah kawin?”
“Kawin sudah, nikah belum.”
“Lho, apa bedanya?”
“Kawin pake urat, nikah pakai surat.”
Atau
“Pusing gue belum check.”
“Ya sudah, check up aja ke rumah sakit.”
“Bukan. Belum check in ke hotel.”
Istilah check in yang netral kerap dipersepsikan dengan aktivitas yang menjurus kepada hal-hal saru atau yang “berada di balik sarung”.
Ketika segala sesuatu direlatifkan maka ia menjadi conditional atau bersyarat. Kabur dan ambigu. Sama relatifnya seperti--dalam pandangan teori relativitas—usia seseorang astronot di luar angkasa dan ketika berada di muka bumi. Ada standar-standar yang berbeda yang tak ketemu jika dikompromikan. Di sinilah titik benturan yang keras dengan nilai-nilai moral dan agama yang—dalam pandangan sebagian orang—dianggap rigid atau kaku.
Sama relatifnya ketika soal keperawanan ditudingkan balik kepada laki-laki. Kenapa tidak? Jika seorang perempuan menghadapi masalah originally virgin atau technically virgin sesungguhnya lelaki berhak dipertanyakan pula kadar “keperawanan” yang dimilikinya. Dalam bahasa Inggris, kata “virgin” juga berlaku sama bagi kedua gender yang bagi laki-laki lebih tepatnya dapat diterjemahkan sebagai “keperjakaan”.
Terlepas dari fakta anatomis bahwa lelaki cenderung tidak memiliki “bekas” ketika sudah tidak “perjaka”, menjadi diskursus yang menarik jika seorang lelaki dikatakan “bujang tapi sudah tidak perjaka”. Persis seperti seorang perempuan yang disebut “gadis tapi tidak perawan”. Apakah sang lelaki juga originally virgin dalam artian tidak pernah berhubungan seks maupun aktivitas seks yang menjurus seperti onani, petting atau seks oral? Ataukah ia hanya technically virgin yakni “hanya” tidak pernah berhubungan seks dalam artian senggama sementara yang lain sudah khatam dijalaninya?
Soal relevansi keperawanan atau keperjakaan sebagai standar moral dalam masyarakat dalam masyarakat yang berubah cepat dalam turbulensi perbenturan berbagai sistem nilai dan peradaban ini tampaknya secara pesimis bernasib sama seperti RUU Antipornografi dan Pornoaksi—kini kehilangan kata bertuah “anti”—yang tak kunjung usai dan diskusinya berlangsung alot. Sealot kepentingan syahwat yang melingkupinya baik syahwat politik, bisnis atau syahwat beneran.
Lagi-lagi jika demikian, kendati klise, segalanya terpulang pada nurani—yang dalam pemaknaan Nurcholish Madjid sebagai “tempat yang mendapat cahaya (nur) Ilahiah--tiap individu jika nurani penguasa atau legislator sudah mati. Barangkali inilah salah satu tanda akhir zaman yang kerap disitir Nabi Muhammad SAW yakni ketika seseorang harus mempertahankan keimanannya seorang diri bagai “memegang bara di telapak tangan”.
Semoga saja kisah seperti cerita imajiner dari negri antah berantah ini tidak terjadi kelak.
Alkisah, seorang wakil rakyat yang menentang usulan pemberlakuan hukum potong tangan bagi para pencuri berargumen lantang,”Hukuman itu tidak manusiawi karena tidak berdasarkan semangat kemanusiaan!”
Beberapa saat kemudian ia mendapat kabar via telepon bahwa rumahnya kemalingan. Dan barang-barang berharganya ludas.
“Kurang ajar maling itu!” semprotnya. “Cepat tangkap maling keparat itu. Bakar dan cincang saja biar mampus!”
Jika manusia mengandalkan logika dan nafsu niscaya penjara ekstremitas akan selalu mengungkungnya. Bukankah kata Ali Syari’ati salah satu “penjara” dalam hidup manusia adalah dirinya sendiri? Termasuk ketika memaknai untuk sebuah pegangan diri apakah keperawanan atau keperjakaan itu pilihan atau kemutlakan.
Pancoran, 9 Juli 2007


Referensi:
http://nursalam.multiply.com
www.penulislepas.com
www.rumahdunia.net
www.sekolah-kehidupan.com
Majalah Sabili
Koran Pak Oles (Bali)

Biodata Penulis

Nursalam AR, penerjemah dan penulis outsourcer untuk penerbit MIZAN kelahiran 6 Januari 1977 ini adalah kolumnis tetap di situs sekolahkehidupan.com dan penulislepas.com dan memuatkan beragam tulisannya di berbagai media seperti rumahdunia.net, eramuslim.com, kotasantri.com, dan Kabarindonesia.com, Sabili, Buletin Senja dan majalah sastra IMAGIO.
Karya-karyanya yang dimuat dalam kumpulan tulisan bersama antara lain kumpulan cerpen The Regala 204B (Gapuraja Media, Semarang, 2006), antologi puisi amal Anthology Empati Yogya (Pustaka Jamil, Jakarta, 2006), antologi Lukisan Kehidupan (Avatar Press, Jakarta, Juli 2007) dan 20 Cerita Gokil, (Mediakita, Jakarta, Desember 2007) dan Tembang Bukit Kapur (Escaeva, Bogor, Desember 2007), antologi cerpen bersama.
Mantan jurnalis Media Kesehatan, www.kitakita.com dan pemred Tabloid Kampus Preventia ini adalah mantan mahasiswa program S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) varian Epidemiologi (1996-2001). Pernah menjadi Humas Forum Lingkar Pena (FLP) DKI Jakarta (2006-2007).
Ingin berkenalan dengan ketua umum Komunitas milis Sekolah Kehidupan ini? Sapa saja ia di alamat e-mail: salam.translator@gmail.com atau di www.nursalam.multiply.com dan HP: 0813-10040723. YM ID: nursalam_ar.

My Poems ==> please comment!

Pudar

Andai tak juga ku dapati nanti
Hati ini telah tak lagi peduli
Harap yang ku himpun saat kau jauh
Takkan lagi mampu ku rengkuh

Ketika sepi hanya sendiri
Mencoba menghempas sesak
Ketika bayang dan rindu menghampiri
Bahkan hati tak mampu berontak

Masih ku genggam kenangan
Masih ku ingat senyuman
Masih terngiang janji
Masih lelah juga hati ini
Menanti, menanti…
(Depok, 22 Oktober 2008)


Galau

Biar beriring lalui mimpi
Kenangan segala tersembunyi
Tersembunyi di balik hati

Satu nama mengusik janji
Ingatan terperih pada segala kata
Bayangan jua semburat terpendar
Dalam sepi

Rinduku tak beraturan
Mengejar derita-derita berloncatan
Langkah terhenti di ujung pencarian
Ketika tak mampu ku bawa semua angan
Semua angan…
(Depok, 06 Desember 2008)


Di Tepi Hati

Harusnya tak kau urai
Semua kata yang pernah terucap
Kini nyata hanya siksa
Bayangmu ku hujam di dasar jiwa
Sungguh aku lelah
Dan kau harus pergi!
Pergi, jauh…
(Depok, 06 Desember 2008)

Racun

Terasa berlawanan
Antara hati dan laku
Bisakah halau segala kecamuk ini?

Ingin sekali teriak benci
Biar impas seluruh sesakku
Tapi tak tertuang…

Mengingatmu saat tertawa
Bangkitkan rindu yang tlah beku
Tapi mengenalmu saat tlah terlambat
Membuat semua kenangan itu terasa pahit
Hingga cinta ini berubah…
Benci!
(Depok, 29 Juni 2008)